Selasa Bersama Morrie
Selasa Bersama Morrie : Kelas Terakhir Dosen yang Mahir
"Begitu ingin tahu bagaimana kita akan mati. Itu sama dengan kita belajar bagaimana kita harus hidup."
Udah lama banget tertarik buat baca buku ini, karena kata orang-orang sedih gitu. Setelah baca bukunya, aku malah ngerasa buku ini meaningful dan heartwarming. Buku ini berisikan catatan pertemuan antara seorang dosen sosiologi bernama Morrie Schwartz dengan mahasiswa favoritnya yaitu Mitch Albom yang terjadi pada hari Selasa setiap pekannya. Pertemuan itu menjadi menarik dikarenakan bukan hanya pertemuan biasa, namun menjadi 'perkuliahan' terakhir karena Morrie mengidap penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang membuat hidupnya tidak bertahan lama. Mereka tidak membahas materi kuliah pada umumnya, akan tetapi pandangan dan nasehat Morrie soal makna kehidupan.
"Ted, penyakit ini juga menyerang jiwaku. Tapi ia tidak akan mendapatkannya. Hanya tubuhku yang kena. Bukan jiwaku." (Hal. 173)
Menurutku, Mitch Albom berhasil menuliskan buku ini dengan sangat baik. Aku baca yang terjemahan juga cukup bagus. Terlihat kekagumannya kepada dosen favoritnya ini setelah lama tidak berjumpa. Dijelaskan juga kondisi Morrie yang menurun pada setiap kali pertemuannya, jadi semakin berasa sedih dan terharunya. Setiap katanya dirangkai dengan runtut sehingga enak mengalir waktu baca bukunya. Karena memang ini di antara dosen dengan mahasiswanya jadi akan terkesan banyak dinasehati, tapi kalau aku cocok karena mungkin sedang fase butuh banyak nasehat hehe.
Kagum banget sama sosok Morrie yang mindful dalam menjalani kehidupan. Dari setiap nasehatnya, aku dapat menangkap bahwa Morrie benar-benar memaknai hidupnya, tidak sekadar menjalaninya. Di sisa usianya, ia tidak menyerah begitu saja, ia tetap bersyukur dengan penyakit yang dideritanya, ia jadi punya kesempatan untuk memberikan salam perpisahan sebelum ajal menjemputnya. Ia menyiapkan kematiannya dengan sangat indah. Seperti nasehatnya di awal paragraf,"Begitu ingin tahu bagaimana kita akan mati. Itu sama dengan belajar bagaimana kita harus hidup." Yaa benar, seharusnya kalau kita sadar bahwa kita punya batas waktu di dunia ini, kita akan berusaha hidup dengan sebaik-baiknya.
Oh iya salah satu nasehat dalam buku ini yang paling aku inget tentang pernikahan.
"Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka kehendaki dalam diri seorang pasangan. Mereka bahkan tidak mengenal diri sendiri, maka bagaimana mungkin mereka mengenal orang yang mereka nikahi?" (Hal. 157)
Hihi buat yang lagi galau seperti saya soal dimanakah jodohku? Ini jadi tamparan tersendiri untuk mengenal dengan baik diri sendiri terlebih dahulu agar tahu pasangan seperti apa yang kita butuhkan nantinya. Kalau kita aja gak sadar apa yang kita butuhkan, gimana mau dapat pasangan yang sesuai nantinya. So, jadi makin semangat untuk bersabar sambil upgrade value diri hahaha.
Buku ini cocok dibaca buat temen-temen yang pengen merenungi kembali soal hidupnya. Bakal banyak sudut pandang baru yang mungkin sebenarnya kita tau tapi ga kita maknai sedalam itu. Seperti seberapa mindful aku dalam menjalani kehidupan ini? Sudahkah aku mendapatkan makna dari hidup yang sedang aku jalani saat ini?
Komentar
Posting Komentar