Aku dan Buku
Bisa dikatakan perjalananku dengan buku laiknya
perjalanan cintanya seseorang. Mulai dari pedekate, jadian, break, putus-nyambung,
putus, sampai CLBK. Mau tau bagaimana ceritanya? Baik, akan aku ceritakan.
Aku terlahir di keluarga yang Alhamdulillah sangat
mengutamakan Pendidikan. Ibu dan bapakku adalah seorang pengajar. Sedari
sebelum masuk TK, aku dan 2 adikku sudah cukup lancar membaca karena diajari
terlebih dahulu oleh ibu. Oleh karena itu, aku terbiasa membaca sejak kecil.
Bacaan favorit pertamaku adalah Majalah Bobo, terutama bagian cerpennya. Aku
tidak pernah melewatkan majalah itu setiap bulannya. Terkadang, aku juga
curi-curi membaca Majalah Ummi milik ibuku, hihi. Yaa walaupun aku tidak begitu
paham sih maksud tulisannya.
Suatu hari, Bapak mengajakku untuk mengunjungi
Perpustakaan Daerah. Bapak bermaksud mengenalkanku dengan buku cerita. Aku tercengang
melihat banyaknya buku disana. Aku pulang sambil membawa 2 buku bergambar
sebagai pinjaman, Aku masih ingat salah satu judulnya yaitu Fauna dalam Al-Quran,
berisikan hewan-hewan yang disebutkan dalam Al-quran. Tujuan bapakku tercapai,
proses yang bisa dikatakan sebagai pedekate berhasil. Aku mulai tertarik untuk
membaca buku.
Aku pun jadi rajin meminjam buku, baik di perpustakaan
SD maupun Perpustakaan Daerah. Aku juga sering meminta dibelikan buku setiap
mampir ke Mall yang ada toko bukunya. Sepertinya, aku sudah jatuh cinta kepada
lembaran kertas itu. Orangtuaku berjanji untuk membelikan 1 buku setiap aku berhasil
mendapat nilai yang bagus saat ujian.
Selayaknya seseorang yang jatuh cinta, aku rela melakukan apapun agar
mendapatkan buku. Sedikit berlebihan mungkin tapi aku jadi rajin belajar setiap
harinya. Alhamdulillah, nilaiku saat itu cukup baik sehingga aku bisa mengoleksi
banyak buku, seperti KKPK (Kecil-kecil Punya Karya), Fantasteen, Pink Berry
Club, Kisah Nabi dan Rasul, Kisah Sahabat Nabi, Abu Nawas, dan serial misteri.
Memasuki masa remaja, yaitu saat SMP dan SMA, aku
tetap saja keranjingan membaca buku. Budak cinta sejatinya buku. Apalagi
terdukung dengan kondisiku yang melanjutkan belajar ke pondok pesantren. Di
pondok, kami tidak diperbolehkan membawa HP dan alat komunikasi lainnya.
Sehingga, kegiatan membacaku bukannya berkurang tapi justru malah semakin
bertambah karena ketiadaan distraksi. Banyak dari temanku yang juga mempunyai
hobi membaca. Tak jarang, ketika dijenguk oleh orangtua, kami meminta untuk
dibawakan buku. Di waktu senggang selepas belajar dan menghafalkan Al-Qur’an,
kami biasa bertukar buku bacaan. Kalau dulu semasa kecil genre cerita yang aku
tahu hanyalah fiksi saja, saat di pondok aku mengenal banyak genre. Aku jadi
suka membaca berbagai macam genre, seperti buku islami dan self development,
namun tetap fiksi adalah favoritku.
Semasa kuliah segalanya berubah, inilah fase ujian
rasa cintaku dengan buku. Beratnya adaptasi dan banyaknya kegiatan di
universitas membuatku jarang membaca. Membaca saja jarang apalagi membeli
bukunya. Tahun pertama, aku masih sempat membaca sedikit buku, bisa dihitung
jari lah buku yang kubaca dalam setahun. Jumlahnya jauh menurun dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Sampai akhirnya di tahun kedua dan seterusnya, aku
benar-benar ‘putus’ dengan buku. Pernahkah mendengar kisah sepasang insan
menghentikan hubungannya bukan karena benci, tetapi sudah tidak ada porsi waktu
untuk bersama lagi? Itulah yang terjadi dalam kisahku bersama buku ini. Aku
benar-benar tidak menyentuh satupun buku di luar buku materi kuliah selama
sekitar 2 tahun.
Suatu ketika, aku menerima panggilan dari kakak
tingkatku. Kami saling bercerita ngalor ngidul tentang banyak hal. Sampailah
kami mengenai topik soal ilmu, aku bertanya tentang suatu persoalan.
Kakak tingkatku menjawab, ”Aku gamau ngasih tau kamu
sekarang, kamu harus cari tau sendiri jawabannya. Nah cara tau jawabannya kamu
harus rajin baca buku.”
Aku membalas,”Yah, aku udah ga pernah baca buku Mba.”
“Aku juga dulu gitu Sal, males baca. Tapi, aku sadar
ini kan kita di kuliah ini menuntut ilmu yaa. Nah cara kita buat dapetin ilmu
itu kan dengan membaca. Trus kalau kita ini ga pernah baca, mau gimana dapat
ilmunya? Jaman sekarang mahasiswa ga gemar membaca tuh ga keren hihi,” ujarnya
diakhiri tawa.
Aku pun tersentak, iya juga ya, sudah cukup lama aku
merasa ada yang aneh dalam diriku setelah ‘putus’ dari buku itu. Kayak ada yang
hilang di hati, pantas saja aku kesusahan memahami banyak hal. Sumber ilmunya
saja tidak aku sentuh, bagaimana bisa mengerti. Sejak nasehat kakak tingkatku
itu, aku berpikir panjang untuk mecoba kembali mencintai buku. Usaha balikan
begitulah. Jangan tanya soal jawaban persoalanku itu, karena sampai sekarang
aku juga masih mencarinya.
Sempat seorang teman mengajakku untuk menghadiri
pameran buku. Dengan senang hati aku mengiyakan ajakannya. Ketika tiba disana,
aku terkagum-kagum dengan banyaknya buku yang dijajar. Akan tetapi, karena aku
sudah lama lost contact dengan buku, aku jadi benar-benar kosong soal
buku. Aku tidak tahu siapa penulis buku yang trend saat itu, aku tidak tahu
buku apa yang perlu ku beli. Dengan berbekal semangat membara untuk balikan
dengan buku, aku pun membeli paketan buku seharga Rp100.000,00
Apakah usaha balikanku berhasil? Belum jawabannya.
Buku yang kubeli saat pameran pada akhirnya pun tak terbaca. Mungkin memang
Allah belum menakdirkanku untuk jatuh cinta lagi, aku tidak cocok dengan
bukunya, jadi malah semakin bosan. Buku-buku itu pun hanya terpajang rapi di
laci meja kos-kosanku.
Tibalah tahun terakhirku di dunia perkuliahan. Saatnya
menyelesaikan momok menakutkan bagi setiap mahasiswa yaitu skripsi/ tugas
akhir. Aku stress sekali dengan adanya skripsi ini, data yang banyak, dosen
yang susah dihubungi, transisi dari masa pandemi, dan banyak permasalahan
lainnya. Belum lagi perasaan tertinggal dari teman-teman. Aku butuh suatu
hiburan yang menenangkan.
Suatu hari, Aku membuka Instagram, setelah scroll
kesana kemari, aku menemukan postingan salah satu akun bookstagram di exploreku.
Aku mulai menelusuri akunnya. Aku bergumam dalam hati, ada yaa akun khusus buat
buku gini. Setelah mengulik semakin dalam ternyata sosok bookstagram ini bukan
hanya satu dua orang, tapi banyak sekali, bahkan ada komunitas-komunitas tertentu.
Karena semakin ingin tahu, aku mengikuti beberapa akun.
Hari demi hari, aku mengamati postingan para
bookstagram ini. Benih-benih ketertarikan pada buku muncul kembali. Aku melihat
banyak review buku yang menarik dan mengetahui adanya aplikasi buku
digital. Sedikit demi sedikit aku mulai menyelesaikan beberapa buku. Nyatanya
membaca adalah alternatif healing yang efektif untukku di kala skripsian. Aku
menjadi lebih tenang dan bersemangat menyelesaikan perkuliahanku. Aku yang saat
itu terkungkung di kos-kosan bisa menjelajahi dunia lewat buku. Menyenangkan
sekali.
Di tahun selanjutnya, 2022, aku mulai berani
menetapkan target bacaan dalam setahun. Pada akhir tahun betapa bahagianya aku
berhasil menyelesaikan target bacaanku. Aku jatuh cinta kembali pada buku,
kalau kata orang CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Rasanya tuh seperti
mendengarkan lagunya M. E Voice yang berjudul Inikah Cinta. “Inikah
cinta…..terasa bahagia saat jumpa.”dendangku.
Aku juga
membuat akun bookstagram pada tahun yang sama dengan memakai akun kosongan
bekas buat stalking orang daripada tidak berfaedah bukan? Akan tetapi belum
berhasil dengan baik aku jalankan. Ternyata susah juga ya jadi bookstagram,
harus menyusun kata-kata untuk reviewnya dan mengatur foto atau postingan agar
enak dilihat. Baru pada tahun 2023 ini aku mulai mengaktifkan akun bookstagram
agar aku lebih mindful dan semangat lagi dalam membaca.
Dari perjalanan kisah cintaku dengan buku ini, aku banyak belajar. Aku paham rasa cinta itu terkadang susah untuk dipertahankan. Ada kalanya ingin berhenti mencintai orang, barang, atau apapun yang kita cintai. Tapi selama hal yang kita cintai ini baik dan memberikan manfaat buat kita, tidak ada salahnya untuk bertahan. Apabila sudah terlanjur berpisah, maka kembalilah dan rajutlah kisah indah kembali.
Komentar
Posting Komentar